Wudu: Cara menyucikan anggota tubuh dengan air sebelum salat dalam Islam

Wudu (Arab: الوضوء al-wuḍū', Urdu: وضو wazū') atau abdas (Persia:آبدست ābdast, Turki: abdest) adalah salah satu cara menyucikan anggota tubuh dengan air.

Seorang muslim diwajibkan bersuci setiap akan melaksanakan salat. Berwudu bisa pula menggunakan debu yang disebut dengan tayammum. Sejarah pensyariatan wudhu terdapat dalam Al-Qur'an pada Surah Al-Ma'idah ayat 6 yang bersamaan dengan perintah salat fardu yaitu enam bulan sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Persyaratan untuk melaksanakan wudu ada lima dengan enam hukum fardu. Selain itu, terdapat delapan hal yang membatalkan wudu.

Persyaratan

Sebelum melaksanakan salat, tiap muslim wajib melakukan wudu. Caranya adalah dengan membersihkan bagian tubuh tertentu menggunakan air. Wudu mejadi syarat wajib sebelum melaksanakan salat wajib maupun salat sunah. Syarat pelaksanaan wudu adalah berislam, berakal sehat, menggunakan air suci, dan tidak berpenghalang. Makna berakal sehat ialah mampu membedakan antara hal yang baik dengan hal yang buruk. Sementara itu, air suci adalah air yang belum pernah digunakan untuk kegunaan lain, misalnya air hujan, air laut, air sungai, salju yang mencair, dan air dari tangki atau kolam besar. Penghalang di dalam wudu adalah najis atau hadas. Penghalang ini terbagi menjadi dua yaitu penghalang lahir dan penghalang biologis. Penghalang lahir misalnya kotoran yang menempel di sela-sela kuku, sedangkan penghalang biologis misalnya haid dan nifas bagi wanita. Syarat tambahan diberikan kepada orang dengan penyakit yang membuatnya selalu berhadas. Bagi penderita penyakit selalu berhadas, wudu dilakukan setiap memasuki waktu salat. Penyakit berhadas ini misalnya keputihan dan tidak mampu menahan buang air kecil.

Tata cara

Wudu dimulai dengan niat kemudian membaca Basmalah dilanjutkan dengan membasuh kedua telapak tangan. Selanjutnya berkumur membasuh hidung lalu bagian muka, kedua telapa tangan hingga mencapai siku, mengusap bagian kepala dan telinga lalu diakhiri dengan membasuh kedua telapak kaki hingga tumit. Pelaksanaan wudu ini dilakukan secara berurutan dan di dahulukan bagian kanan masing-masing 1x akan tetapi kalau di rasa belum sempurna bisa di ulangi sampai batasnya 3x.

Pembatalan

Wudu dapat menjadi batal akibat beberapa hal. Penyebab paling umum adalah keluarnya kotoran dari anus atau alat kelamin. Penyebab berikutnya adalah tidur dengan posisi tubuh tengkurap atau kaki terangkat. Wudu juga dapat batal akibat orang yang berwudu kehilangan akal sehat akibat mabuk, sakit, epilepsi, atau gila. Batalnya wudu juga disebabkan karena bersentuhan langsung antara kulit dengan kulit pada orang yang bukan mahram. Keberadaan atau ketidakberadaan hawa nafsu tidak mempengaruhi pembatalan wudu. Kondisi terakhir yang dapat membatalkan wudu adalah menyentuh lubang anus sendiri maupun orang lain baik dalam keadaan hidup atau telah meninggal.

Keluar kencing, tinja dan air mani

Menurut ijmak, air kencing dan kotoran yang keluar dari kemaluan dan anus hukumnya membatalkan wudu. Sesuatu yang lain selain keduanya apabila keluar dari kemaluan dan dubur juga membatalkan wudu. Hanya Mazhab Maliki yang berpendapat bahwa keluarnya sesuatu selain air kencing dan kotoran dari kemaluan dan dubur tidak membatalkan wudu. Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali dan Mazhab Maliki berpendapat bahwa air mani yang keluar telah membatalkan wudu. Sedangkan Mazhab Syafi'i berpendapat keluarnya air mani tidak membatalkan wudu, tetapi mewajibkan wandi wajib. Sedangkan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa air kecing, kotoran dan air mani membatalkan wudu.

Menyentuh kemaluan sendiri

Para imam mazhab menyepakati bahwa wudu tidak batal ketika seseorang menyentuh kemaluannya sendiri bukan dengan tangan. Namun, mereka berbeda pendapat tentang pembatalan wudu akibat menyentuh kemaluan dengan tangan. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hukumnya membatalkan wudu dengan menggunakan sisi tangan bagian manapun. Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa wudu batal jika menyentuh kemaluan tanpa penghalang menggunakan tangan bagian dalam. Pembatalan wudu ini berlaku pada kondisi adanya syahwat maupun tidak. Wudu tidak batal jika bagian tangan yang menyentuh adalah punggung tangan. Mazhab Hambali berpendapat bahwa menyentuh tangan dengan kemaluan telah membatalkan wudu dengan menggunakan bagian tangan yang manapun. Sedangkan Mazhab Maliki berpendapat bahwa pembatalan wudu hanya terjadi ketika memiliki syahwat saat tangan menyentuh kemaluan.

Menyentuh kemaluan orang lain

Mazhab Hambali dan Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa menyentuh kemaluan orang lain tidak membatalkan wudu. Hal ini berlaku kepada orang yang menyentuh dan orang yang disentuh. Pemberlakuan ini untuk anak-anak maupun dewasa yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Mazhab Maliki berpendapat bahwa wudu tidak batal ketika kemaluan disentuh oleh anak kecil. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa menyentuh kemaluan orang lain tidak membatalkan wudu siapapun yang disentuh.

Sementara itu, Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali dan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang disentuh kemaluannya tidak batal wudunya. Hanya Mazhab Maliki yang berpendapat bahwa wudu orang yang disentuh kemaluannya menjadi batal.

Pembatalan yang disepakati

Ada beberapa perkara atau hal yang dapat membatalkan sahnya wudu dan telah disepakati, di antaranya adalah:

  1. Keluar sesuatu dari lubang kelamin dan anus, berupa tinja, kencing, kentut (buang angin), dan semua hadats besar seperti keluarnya air mani, madzi, jima', haid, nifas,
  2. Tidur lelap (dalam keadaan tidak sadar),
  3. Hilangnya akal karena mabuk, pingsan dan gila,
  4. Memakan daging unta,
  5. Menyentuh kawasan sekitar kemaluan (qubul) atau anus (dubur) dengan telapak tangan atau jari-jari tanpa ada penghalang

Pembatalan yang diperselisihkan

Ada beberapa perkara atau hal yang dapat membatalkan sahnya wudu namun masih diperselisihkan di antaranya adalah:

  1. Sentuhan laki-laki pada wanita yang mahram atau bukan tanpa penghalang, kemudian ada hadits yang menjelaskan bahwa bersentuhan tidak membatalkan wudu,
  2. Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan bagian dalam,
  3. Keluarnya darah istihadhah,
  4. Mimisan dan muntah,
  5. Mengangkat dan memandikan jenazah.

Penggunaan air

Jenis air yang diperkenankan untuk berwudu antara lain:

  • Air hujan,
  • Air sumur,
  • Air terjun, laut atau sungai,
  • Air dari lelehan salju atau es batu,
  • Air dari tangki besar atau kolam.

Jenis air yang tidak diperkenankan antara lain:

  • Air yang terkena najis,
  • Air sari buah atau pohon,
  • Air yang telah berubah warna, rasa dan bau dan menjadi pekat karena sesuatu telah direndam di dalamnya,
  • Air dengan jumlah sedikit (kurang dari 1000 liter) yang terkena sesuatu yang tidak bersih seperti urin, darah atau minuman anggur atau ada seekor binatang mati di dalamnya,
  • Air yang tersisa setelah binatang haram meminumnya seperti anjing, babi atau binatang mangsa,
  • Air yang tersisa oleh seseorang yang telah mabuk karena khamr (minuman keras).

Air Musta'mal

Mahzab Al-Hanafiyah

Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta’mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta’mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudu atau mandi. Air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudu` untuk salat atau mandi wajib) atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudu sunnah atau mandi sunnah. Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta’mal. Bagi mereka, air musta’mal ini hukumnya suci tetapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tetapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudu atau mandi.

Mahzab Al-Malikiyah

Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudu atau mandi, dan tidak dibedakan apakah wudu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis), dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan ‘bahwa yang musta’mal hanyalah air bekas wudu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang.

Namun yang membedakan adalah bahwa air musta’mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan sah digunakan digunakan lagi untuk berwudu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah (kurang disukai).

Mahzab Asy-Syafi`iyyah

Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudu atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudu.

Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudu, maka belum lagi dianggap musta’mal. Termasuk dalam air musta’mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila, dan air itu baru dikatakan musta’mal kalau sudah lepas atau menetes dari tubuh. Air musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudu atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tetapi tidak mensucikan.

Mahzab Al-Hanabilah

Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian, dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.

Selain itu air bekas memandikan jenazah pun termasuk air musta’mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta’mal. Seperti menuci muka yang bukan dalam rangkaian ibadah ritual wudu. Atau mencuci tangan yang juga tidak ada kaitan dengan ritual ibadah wudu.

Hukum wudu

Wajib

Pelaksanaan wudu wajib dilakukan oleh umat Muslim, ketika hendak melakukan ibadah salat, thawaf di Ka'bah, dan menyentuh al-Qur'an. Berwudu untuk menyentuh al-Qur'an menurut pendapat para ulama empat madzhab adalah wajib, berdasarkan salah satu surah dalam al-Qu'ran, yang berbunyi:

Sementara itu ada ayat lainnya yang mewajibkan seorang Muslim untuk berwudu sebelum hendak melakukan salat. Allah berfirman:

Sedangkan menurut pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi'ah di atas ialah: "Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para malaikat yang telah disucikan oleh Allah." Pendapat ini adalah tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil.

Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian maksudnya tentang firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang suci (bersih), yakni dengan bentuk faa’il (subjek/pelaku) bukan maf’ul (objek). Kenyataannya Allah berfirman: "Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan", yakni dengan bentuk maf’ul (objek) bukan sebagai faa’il (subjek).

“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.” Yang dimaksud oleh hadits di atas ialah: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Muhammad. “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”

Sunnah

Wudu bersifat sunnah apabila akan mengerjakan hal-hal berikut ini:

  1. Mengulangi wudu untuk tiap salat,
  2. Bagi setiap Muslim untuk selalu tampil dengan wudu,
  3. Ketika hendak tidur, dalam keadaan junub,
  4. Sebelum mandi wajib,
  5. Ketika hendak mengulangi hubungan badan,
  6. Ketika marah,
  7. Ketika hendak membaca al-Qur'an,
  8. Ketika hendak melantunkan azan dan iqamat,
  9. Ziarah ke makam Nabi Muhammad,
  10. Menyentuh kitab-kitab syar'i.

Sunah wudu

Berikut sunah-sunah wudu yang biasa dilakukan oleh Nabi Muhammad:

  1. Bersiwak,
  2. Mencuci kedua tangan sampai pergelangan tangan sebelum berwudu,
  3. Berkumur-kumur dan menghisap air kedalam hidung
  4. Mencuci anggota-anggota wudu sebanyak tiga kali, kecuali kepala hanya sekali,
  5. Menyela-nyela jenggot yang tebal,
  6. Menyela-nyela jari-jari kaki dan jari-jari tangan,
  7. Menyeka (dalk),
  8. Mendahulukan tangan kanan daripada yang kiri dan kaki kanan daripada kaki kiri.
  9. Berdoa setelah berwudu.
  10. Menggunakan air wudu dengan hemat.

Adapun sunah-sunah wudu yang terkadang dilakukan di sela-sela rukun wudu adalah:

  1. Membaca basmalah pada awal berwudu.
  2. Membasuh kedua telapak tangan sampai sebatas pergelangan tangan.
  3. Berkumur-kumur.
  4. Membasuh lubang hidung.
  5. Menyapu (membasuh) seluruh kepala.
  6. Mendahulukan anggota tubuh bagian kanan dibandingkan anggota badan bagian kiri.
  7. Mengusap daun dan rongga telinga.
  8. Tiga kali setiap gerakan membasuh.
  9. Membasuh sela-sela jari tangan dan jari kaki.
  10. Membaca doa setelah berwudu. Doa setelah berwudu yaitu:

yang artinya ialah:

Rukun wudu

Rukun berwudu terdiri dari 6 (enam) perihal yang utama, yaitu:

  • Niat, adapun bacaan niat wudu(dibaca dalam hati) adalah sebagai berikut:

Adapun artinya adalah:

  • Membasuh seluruh bagian wajah (meliputi bagian di antara telinga kiri dan telinga kanan, dan antara mulai tumbuhnya rambut di atas dahi hingga ke bawah dagu.
  • Membasuh kedua tangan sampai ke bagian siku.
  • Mengusap sebagian rambut kepala.
  • Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.
  • Tertib, yaitu teratur dengan mendahulukan mana yang harus didahulukan dan mengakhirkan mana yang harus diakhirkan sesuai dengan yang disyariatkan.

Referensi

Catatan kaki

Daftar pustaka

  • Ad-Dimasyqi, Muhammad bin 'Abdurrahman (2017). Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi. ISBN 978-602-97157-3-6. 
  • Adil, Abu Abdirrahman (2018). Mujtahid, Umar, ed. Ensiklopedi Salat. Jakarta: Ummul Qura. ISBN 978-602-7637-03-0. 
  • Ash' Shiddieqy, M. Hasbi. Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Islam. 1962.
  • Muiz, Abdul. Panduan Shalat Terlengkap. Jakarta: Pustaka Makmur. 2013. ISBN 602-7639-65-2
  • Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Bandung: Al-Ma'arif. 1990. ISBN 979-400-038-8
  • Syafril, Muhammad (2018). Panduan Salat Wajib dan Sunah. Jakarta: QultumMedia. ISBN 978-979-017-411-5. 

Lihat pula

Pranala luar

Tags:

Wudu PersyaratanWudu Tata caraWudu PembatalanWudu Penggunaan airWudu Air Mustamal[27]Wudu Hukum wuduWudu Sunah wuduWudu Rukun wuduWudu ReferensiWudu Lihat pulaWudu Pranala luarWuduAirAl-Qur'anBahasa ArabBahasa PersiaBahasa TurkiBahasa UrduDebuMadinahMuhammadSalatSurah Al-Ma’idahTayammumTubuh

🔥 Trending searches on Wiki Bahasa Indonesia:

DubaiCekPiala Asia U-23 AFCAksara SundaBidadari SurgamuTiongkokBoti (bahasa gaul)Pelayaran Nasional IndonesiaMohamad KusnaeniSpanyolPiala Asia AFCGelar kebangsawanan JawaAustraliaKereta Api IndonesiaSufismePerdagangan internasionalIndofood Sukses MakmurEllyas PicalDemokrasi PancasilaChelsea F.C.Tito KarnavianRatu TishaNike ArdillaShin Tae-yongBobby NasutionSurindro SupjarsoOne PieceLiga Champions AFCSiksa NerakaJay IdzesManusiaGunung IjenBatikSejarah IslamInstagramWindah BasudaraGelar kebangsawanan EropaUangBadan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan KemerdekaanTere LiyeRupiahSistem saraf tepiDaftar kabupaten dan kota di Sumatera UtaraAli bin Abi ThalibV (penyanyi)Beby TsabinaNepotismeCerezo OsakaSindrom 49, XXXXXKerajaan SingasariHarimauKejuaraan U-23 AFC 2024FacebookIranKota YogyakartaNewcastle United F.C.Kejuaraan Sepak Bola PerbaraPrananda PrabowoStadion Jassim bin HamadRio FahmiPapuaAngga Aldi YunandaRenang (olahraga)Lovely RunnerMartha TilaarAcep PurnamaAyamKomputerDaerah Khusus Ibukota JakartaRepublik Indonesia SerikatSuhartoyoRed SparksFajar Fathur RahmanKucingTim nasional sepak bola GuineaTanda titik duaMarthino LioNegaraHoli🡆 More