Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat (21 April 1879 – 17 September 1904) atau sering disebut dengan gelarnya sebelum menikah: Raden Ajeng Kartini, adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (April 2019) |
Kartini adalah seorang pejuang kemerdekaan dan kedudukan kaumnya, pada saat itu terutama wanita Jawa. Ia mempunyai tanggal lahir yang sama seperti dr. Radjiman Wedyodiningrat, yakni sama-sama lahir pada 21 April 1879.
Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat | |
---|---|
Lahir | Jepara, Hindia Belanda | 21 April 1879
Meninggal | 17 September 1904 Rembang, Hindia Belanda | (umur 25)
Makam | TMP Bulu, Kec. Bulu, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah |
Nama lain | Raden Ayu Kartini |
Dikenal atas | Emansipasi wanita. |
Suami/istri | K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat (m. 1903 - 1904, kematiannya) |
Anak | Soesalit Djojoadhiningrat |
Tanda tangan | |
Ia dilahirkan dalam keluarga bangsawan Jawa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Setelah bersekolah di sekolah dasar berbahasa Belanda, ia ingin melanjutkan pendidikan lebih lanjut, tetapi perempuan Jawa saat itu dilarang mengenyam pendidikan tinggi. Ia bertemu dengan berbagai pejabat dan orang berpengaruh, termasuk J.H. Abendanon, yang bertugas melaksanakan Kebijakan Etis Belanda.
Setelah kematiannya, saudara perempuannya melanjutkan pembelaannya untuk mendidik anak perempuan dan perempuan. Surat-surat Kartini diterbitkan di sebuah majalah Belanda dan akhirnya, pada tahun 1911, menjadi karya: Habis Gelap Terbitlah Terang, Kehidupan Perempuan di Desa, dan Surat-Surat Putri Jawa. Ulang tahunnya sekarang dirayakan di Indonesia sebagai Hari Kartini untuk menghormatinya, serta beberapa sekolah dinamai menurut namanya dan sebuah yayasan didirikan atas namanya untuk membiayai pendidikan anak perempuan bangsa Indonesia.
Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir. Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama Mas Ajeng Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Kakek Kartini dari pihak ayah, Pangeran Aryo Tjondronegoro Adiningrat IV, menikah dengan Gusti Kangjeng Ratu Ayu, putri ke-10 dari Sultan Hamengkubuwana VI. Sang nenek juga secara kebetulan adalah saudara seibu dengan Sultan Hamengkubuwana VII dari pernikahan dengan permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Sultan atau Gusti Kangjeng Ratu Hageng. Garis keturunan Bupati Sosroningrat bahkan dapat ditilik kembali ke istana Kerajaan Majapahit. Semenjak Pangeran Dangirin menjadi bupati Surabaya pada abad ke-18, nenek moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena Mas Ajeng Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari semua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Aryo Tjondronegoro Adiningrat IV, diangkat menjadi bupati Demak dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Di sini Kartini belajar bahasa Belanda. Namun, setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena harus dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft. Ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Selain itu, Kartini juga membaca De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus dan karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orang tuanya, Kartini dijodohkan dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Aryo Singgih Djojoadiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak satu-satunya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihan Kartini, belakangan didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Meski tidak sempat berbuat banyak untuk kemajuan bangsa dan tanah air, Kartini mengemukakan ide-ide pembaruan masyarakat yang melampaui zamannya melalui surat-suratnya yang bersejarah.
Cita-citanya yang tinggi dituangkan dalam surat-suratnya kepada kenalan dan sahabatnya orang Belanda di luar negeri, seperti Tuan EC Abendanon, Ny MCE Ovink-Soer, Zeehandelaar, Prof Dr GK Anton dan Ny Tuan HH von Kol, dan Ny HG de Booij-Boissevain. Surat-surat Kartini diterbitkan di negeri Belanda pada 1911 oleh Mr JH Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Licht. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh sastrawan pujangga baru Armijn Pane pada 1922 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Setelah Kartini wafat, Jacques Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul "Ibu Kita Kartini". Lagu tersebut menggambarkan inti perjuangan wanita untuk merdeka.
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.
Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.
Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika, dan lain-lain. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Sikapnya yang pro terhadap poligami juga bertentangan dengan pandangan kaum feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.
Kematian Kartini yang mendadak juga menimbulkan spekulasi negatif bagi sebagian kalangan. Seperti diketahui dalam sejarah, Kartini meninggal pascamelahirkan, tepatnya empat hari setelah melahirkan. Ketika Kartini, mengandung bahkan sampai melahirkan, dia tampak sehat walafiat. Hal inilah yang mengandung kecurigaan. Efatino Febriana, dalam bukunya Kartini Mati Dibunuh, mencoba menggali fakta-fakta yang ada sekitar kematian Kartini. Bahkan, dalam akhir bukunya, Efatino Febriana berkesimpulan, kalau kartini mamang mati karena sudah direncanakan. Demikian pula Sitisoemandari dalam buku Kartini, Sebuah Biografi, menduga bahwa Kartini meninggal akibat permainan jahat dari Belanda. Permainan jahat dari Belanda ingin agar Kartini bungkam dari pemikiran-pemikiran majunya yang ternyata berwawasan kebangsaan.
Ketika Kartini melahirkan, dokter yang menolongnya adalah Dr van Ravesten, dan berhasil dengan selamat. Selama 4 hari pascamelahirkan, kesehatan Kartini baik-baik saja. Empat hari kemudian, dr van Ravesten menengok keadaan Kartini, dan ia tidak khawatir akan kesehatan Kartini. Ketika Ravesten akan pulang, Kartini dan Ravesten menyempatkan minum anggur sebagai tanda perpisahan. Setelah minum anggur itulah, Kartini langsung sakit dan hilang kesadaran, hingga akhirnya meninggal dunia. Sayangnya, pada saat itu tak ada autopsi. Meski demikian, pihak keluarga tidak mempedulikan desas-desus yang muncul terkait kematian Kartini, melainkan menerima peristiwa itu sebagai takdir Yang Mahakuasa. Sementara pendapat yang berbeda yang dinyatakan oleh para dokter modern pada era sekarang. Para dokter berpendapat Kartini meninggal karena mengalami preeklampsia atau tekanan darah tinggi pada ibu hamil. Namun, hal ini juga tidak bisa dibuktikan karena dokumen dan catatan tentang kematian Kartini tidak ditemukan.
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Pemerintahan Orde Lama Soekarno mendeklarasikan 21 April sebagai Hari Kartini untuk mengingatkan perempuan bahwa mereka harus berpartisipasi dalam "wacana negara hegemonik pembangunan". Namun, setelah tahun 1965, pemerintahan Orde Baru Soeharto mengubah citra Kartini dari emansipator wanita radikal menjadi citra yang menggambarkannya sebagai istri yang patuh dan putri yang patuh, "sebagai hanya seorang wanita berpakaian kebaya yang bisa memasak." Pada kesempatan itu, yang dikenal sebagai Hari Ibu Kartini, "gadis-gadis muda harus mengenakan jaket ketat yang pas, kemeja batik, gaya rambut yang rumit, dan perhiasan berornamen ke sekolah, yang seharusnya meniru pakaian Kartini tetapi dalam kenyataannya, mengenakan pakaian ciptaan, dan ansambel yang lebih ketat daripada yang pernah dia lakukan."
Melodi "Ibu Kita Kartini" oleh W. R. Supratman:
Peringatan 100 tahun Kartini pada tahun 1979 diabadikan melalui seri perangko Republik Indonesia
This article uses material from the Wikipedia Bahasa Indonesia article Kartini, which is released under the Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 license ("CC BY-SA 3.0"); additional terms may apply (view authors). Konten tersedia di bawah CC BY-SA 4.0 kecuali dinyatakan lain. Images, videos and audio are available under their respective licenses.
®Wikipedia is a registered trademark of the Wiki Foundation, Inc. Wiki Bahasa Indonesia (DUHOCTRUNGQUOC.VN) is an independent company and has no affiliation with Wiki Foundation.