Penantianku
oleh Rahmi Elzulfiah

PENANTIANKU

Rahmi Elzulfiah
MAN 2 Payakumbuh



“Assalamualaikum,” ucapku sambil membuka pintu depan. Lalu melangkah langsung ke kamar tanpa menghiraukan salamku dijawab atau tidak. Tapi aku yakin ada yang menjawabnya.

“Kamu masih sibuk?” Tanya papa sambil membuka pintu kamarnya. Mama pun tampak ke luar bersama papa. Mereka menghentikan langkah.

“Iya Pa. Soalnya ada yang harus aku selesaikan secepatnya.” Aku tahu sebenarnya aku tak terlalu sibuk, aku hanya mencari-cari kesibukan. Kalaupun benar ada yang harus kuselesaikan, tapi itu takkan menyibukkanku dan takkan menyita banyak waktuku hingga aku harus pulang malam tiap hari.

Jika papa tak senang aku pulang malam, itu memang salahku. Seharusnya aku tak menuruti egoku, padahal aku tahu keluargaku tak suka anak gadisnya pulang malam. Seperti yang akhir-akhir ini kulakukan hingga tak pernah lagi makan malam di rumah. Tentunya orang-orang di rumah akan mempertanyakannya. Dan untung dari awal aku telah menyiapkan alasan ini yang kupikir takkan mereka curigai. Tapi aku tak bisa memungkiri kalau mama yang sangat sensitif terhadap perasaanku bisa kulupakan. Aku anak bungsu yang dari kecil terbiasa dimanjanya. Apa pun yang terjadi masalah perasaanku mama selalu tahu dan mengerti hanya dengan melihat perubahan sikapku. Walau sudah seringkali aku berlatih menyembunyikan perasaanku dengan melakukan hal-hal seperti biasa, namun tetap saja aku bukan ahlinya, sehingga tanpa kusadari, aku tak bisa menyembunyikannya.

"Mama sudah melihat cerpen barumu di majalah." Kata mama sambil mengemasi kerudung coklat yang tadi kupakai. Lalu mendekatiku yang masih sibuk di depan laptop. Mama menyapukan pandangannya pada kertas-kertas kerjaku yang berserakan di kasur. Mama diam membiarkan kesibukanku di depan laptopku. Saat aku berhenti, melepaskan tanganku dari tombol-tombol yang membuat jari-jariku kecapaian dan kemudian membuka kaca mataku, mama mulai bicara.

"Kami nggak pernah lagi bareng-bareng Sam?" Entah mama bertanya atau membuat pernyataan hanya untuk memulai percakapan.

Aku membersihkan kaca mataku dan memakainya kembali.

"Akhir-akhir ini aku sibuk banget, Ma," jawabku.

"Yah, tadi siang Sam datang. Dia juga bilang begitu." Mama menatapku, seakan mencari-cari apakah aku akan menanggapi atau tidak. Sepertinya mama bisa menjawab sendiri, dan melanjutkan.

"Tadi dia bawa eskrim. Dia bilang sebenarnya ingin makan sama-sama kamu juga. Tapi kayaknya kamu sibuk banget sampai gak ada waktu buat sahabatnya." Mama masih memancing reaksiku.

"Ya deh, aku salah. Besok aku temuin dia dan aku ajak makan siang." Aku juga masih berusaha agar emosiku tetap stabil. Walau dadaku sudah menunjukkan reaksi ketidaksetujuannya. Tapi mama masih belum menyerah.

"Dek, mama tahu perasaanmu." Mama langsung to the poin. Seperti biasa, mama tidak memanggil namaku, Qori, tapi malah memanggilku dengan panggilan akrab kami, Adek.

"Kamu yang lebih dulu mendapatkan Sam, tapi saat kamu mulai mendekatkannya dengan keluargamu, dia malah memilih mbakmu." Mama membuka jepitan rambutku dan menyisirnya dengan jari-jarinya yang lembut. Sedang aku terdiam dan menghentikan setiap gerakan tubuhku. Tatapannya nanar mendengarnya. Seakan mama telah menggoncang botol permen yang sudah kutatapi rapi.

"Mama..." kata itu langsung terucap tanpa aku harus memerintahkan otakku terlebih dulu. Tapi tak seperti biasa, terasa kering, aku merasa sangat kuat menghadapi segala guncangan yang akan terjadi.

Namun sayangnya guncangan malam ini sudah cukup, mama keluar saat telepon berdering. Sepertinya reaksiku sekejap itu sudah cukup buat mama. Padahal sebenarnya aku siap memberikan reaksi lebih dari itu. Bahkan untuk menceritakan semuanya dengan jujur aku akan lebih sanggup. Tapi sepertinya mama tidak cukup bisa membaca pikiranku kali ini.

Malam itu aku meringkuk di bawah selimut setelah mama pergi, berusaha melupakan sesuatu yang mengganggu akhir-akhir ini. Namun itu bukanlah suatu hal yang mudah. Kantuk hampir saja tak kurasakan. Ketika kulihat jam di monitor hpku yang menunjukkan pukul 01.35, akhirnya kuputuskan untuk meminum obat tidur.

Obat yang kumakan tadi malam bereaksi di luar dugaan. Aku kecolongan salat tahajud seperti yag biasa kulakukan. Aku bangun dan segera salat. Kemudian langsung bersiap-siap ke markas, begitu kami menyebut sebuah kantor tempat kami berkumpul sesama orang-orang sastra.

Tanpa sempat membantu mama di dapur, pukul enam pagi aku sudah melaju bersama motorku di jalan. Dingin yang menyusup lewat mantel tak kuhiraukan demi sampai di markas secepat mungkin.

Anggi, seorang mahasiswa di fakultas sastra di sebuah universitas yang tak jauh dari markas, sekalian yang menjaga markas kami, muncul dari arah Masjid bersamaan saat aku tiba di sana. Dengan baju koko biru mudanya, sarung petak-petak sebagai bawahannya ditambah peci hitam di kepalanya yang membuatnya sangat rapi menandakan ia tak kemana-mana seusai salat. Setiba di depan pagar markas, ia pamit darí rombongannya yang umumnya terdiri dari bapak-bapak. Aku tersenyum saat ia berdiri di halaman.

"Asyik banget ngobrolnya sampai-sampai Mbak kelamaan menunggu," sapaku sambil memasukkan helm ke jok motor.

"Yah, si Mbak," ia ingin mengelak, namun kehilangan kata-kata.

"O, iya, tumben akhir-akhir ini Mbak datang pagi-pagi banget?"

Tak kusangka ia akan menanyakan hal itu. Dengan alasan yang sama aku menjawabnya. "Maklum orang sibuk." Ternyata cukup banyak orang-orang yang memperhatikan perubahanku akhir-akhir ini. Dimulai dari Mbak Erin, Mbak Anis, Mas Nugi, Mey, dan sekarang Anggi. Belum lagi keluargaku sudah menunjukkan reaksi dari ketidakberesanku. Mama dan papa tak masalah, jika mereka jengkel? Itu sudah pasti melihat anak gadisnya pulang setelah salat isya di luar terlebih dahulu. Namun yang paling kukawatirkan adalah mbakku, China, aku takut ia menanyakan hal yang sama dengan pertanyaan papa. Jawaban apa yang akan dapat kuberikan. Apalagi kalau Sam sampai curiga dengan keanehan tingkahku akhir-akhir ini. Sungguh, aku malu bila sampai orang-orang mengatakanku cemburu atas pertunangan itu.

Siang itu, kutepati janjiku pada mama. Kuajak Sam makan siang di warung kecil tempat kami biasanya menghabiskan jam istirahat siang. Ini kulakukan untuk menghindari pandangan tidak nyaman terhadap sikapku yang sudah mulai ditangkap orang-orang sekelilingku. Keceriaan seperti biasa tetap kuperlihatkan, meski kini aku benar-benar tak bisa lagi melihat wajah sendu Sam yang humoris. Aku sadar, jika ini kulakukan, aku tak bisa menahan degupan jantungku dengan emosi yang tidak menentu. Aku harus memilih antara tawa dan tangis. Meski sangat berat untuk untuk memihak pada tangis, namun itu harus kulakukan. Andai saja aku bukan seorang muslim yang terjaga dari pergaulan yang lebih bebas, pasti sekarang ia sudah kupeluk.

"Kamu masih sibuk, ya?" Tanyanya saat kami sudah kembali ke markas. Seharusnya aku tak tahu harus menjawab apa tapi kali ini hidayah menghampiriku. Dengan ketenangan yaag tak kuduga aku menjawab, 'banget.'

Walau sebenarnya aku berbohong. Seandainya ia memeriksa laptopku saat ini, ia pasti akan memberiku sebuah hadiah besar, marah, semua tugas-tugasku sudah selesai.

Aku hanya butuh menulis beberapa karya lagi, itupun jika aku mau. Tapi semua kulakukan karena aku masih sama persis seperti yang diduga mama. Masih ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Saat aku teringat hal-hal itu, aku masih betum bisa mengeadalikan diriku. Emosiku masih akan labil. Hari berikutnya kuberitahukan mama dan papa tentang kelulusanku atas beasiswa S2 ke Australia. Tak seperti biasanya, aku tak melihat orang tuaku gembira menyambutnya. Biasanya mereka akan menyambut prestasi-prestasiku seperti hal ini dengan gembira. Papa adalah orang yang tak pernah absen mengucapkan selamat padaku. Namun kali ini papa malah memperlihatkan ketidakyakinannya.

"Kamu yakin?" Suatu tanya yang tak pernah terbayangkan olehku akan keluar dari mulut papa.

"Kenapa nggak, Pa?" Aku balik bertanya dengan keterkejutan.

"Kamu yakin, kamu akan sendiri di sana?" Terbayang kembali keraguan di wajah papa. Ini pertama kali aku melihat reaksi yang berbeda dari papa yang selama ini selalu tersenyum menyambut piala dan piagamku, kini tak tampak kebanggaan itu dari ekspresi papa yang tidak sedang dibuat-buat jika ingin memberikan kejutan.

Oh, Tuhan. Benarkah orang tuaku terkejut karena akan melepasku sendiri di sana atau karena perhatian mereka terhadap perasaanku yang sudah mulai tak bisa diajak kompromi? Suatu hal lagi membuatku bimbang. Kadang perasaan bimbang ini membuatku muak. Aku sudah berkali-kali mencoba untuk melupakan dan merelakan sahabatku. Namun semakin aku mencoba perasaan itu semakin menyiksaku. Inilah ujian terberat yang pemah kurasakan Orang-orang di sekitarku seakan mencurigaiku tanpa aku berani bercerita pada siapapun. Dan ketika kucoba mengadu pada ilahi melalui salat malamku, Sang Pemilik Segala Cinta itu masih berkehendak untuk menguji keimananku.

Keberhasilanku mendapatkan beasiswa ini bukan hanya tempat pelarian dari ketidaknyamanan perasaanku. Tapi juga sebuah cita-cita yang kupendam dari dulu. Kini kesempatan itu ada di depan mataku, sungguh tak mungkin aku menyia-nyiakannya. Akhirnya dengan meyakinkan mama dan papa bahwa ini bukan pelarian bagiku dan aku telah merelakan Sam untuk mbakku, Ghina. Lebih kurang seminggu sebelum pernikahan mereka, aku berangkat ke Australia. Meski sebenarnya hatiku belum seutuhnya membenarkan setiap ucapanku.

***

Seiring berjalannya waktu, berkat salat tahajudku tiap malam, konflik batin yang sebelumnya cukup menggangguku. Doaku sebelum berangkat dulu terkabulkan lewat beasiswaku ini. Namun walau begitu, sesekali aku masih terbayang akan Sam, yang sekarang sudah menjadi kakak iparku. Tapi bayangan itu tak lagi seperti seperti dulu, yang hadir adalah karena dia sahabatku. Aku tersenyum memikirkan hal itu. Sam adalah salah satu sahabatku, aku sadar, akan tetah jatuh cinta padanya. Dia adalah orang pertama yang menggugah hatiku setelah cinta monyet masa remajaku yang datang sekilas.

Aku tahu dari beberapa buku yang kubaca yang mengaitkan dengan hadis-badis yang membahas hubunganku dengan Sam, bahwa di dalam Islam, persahabatan antara laki-laki dan perempuan itu tidak ada. Namun aku tetap memungkirinya bahkan pernah menyatakan ketidaksetujuanku pada diskusi forum remaja di kampus dulu. Aku menyangkat dengan alasan, selagi bisa jaga diri, jaga hati, persahabatan itu tak apa. Hal itu mengingat diriku yang terbiasa bergaul dengan teman laki-laki dari kecil. Bahkan bila dipikir-pikir, mungkin aku lebih dekat dengan teman laki-lakiku dibanding dengan teman-teman perempuan. Tapi untung, aku dididik dengan ajaran Islam walau tidak sampai dimasukkan ke pesantren.

Selama ini aku tak menyadari kebenaran yang dibicarakan dalam forum sudah terbukti padaku. Sebelum bertemu Sam, mungkin aku bisa menjaga hatiku di antara teman laki-lakiku. Hingga kedekatanku dengannya mengubah segalanya. Dimulai saat aku mengetahui prestasi-prestasinya yang tak hanya di bidang sastra. Ada satu hal lagi yang mengesankan darinya, suatu hal yang tak kusangka ia adalah mantan pemenang lomba azan se-Jawa Barat di masa SMA. Dan suatu kali aku mendengarnya mengaji, bait-bait Alquran ia lantunkan dengan suaranya yang indah. Saat itulah aku mulai merasakan getaran-getaran aneh saat teringat dia. Hal ini juga pernah kubawakan dalam salat malamku smpai aku bisa mengontrol perasaanku. Kemudian aku di waktu-waktu yang menurutku pantas, aku mulai sering membawanya ke rumah. Hingga akhirnya, setelah empat semester kulewati, seseorang menyadarkanku akan usiaku sudah melewati seperempat abad. Sudah saatnya aku memikirkan tempatku berbagi suka dan duka di masa depan. Hingga beberapa hal yang sama datang, aku tetap membawakannya dalam tahajudku. Namun qalbuku masih belum ingin mengiyakan di antara mereka. Untuk hal ini, hanya kepada Rabblah tempat aku dapat mencurahkan segala isi hatiku. Aku tak memiliki keberanian untuk bercerita dan meminta nasehat dari orang tuaku, apalagi teman-temanku. Sampai kedatangan Anggi dengan beasiswa sepertiku, membuatku merasa lapang. Aku merasakan kelegaan bisa curhat seperti dulu lagi kepadanya. Kami melanjutkan persahabatan yang dulu sempat terputus saat aku pergi ke negeri kanguru ini. Setelah memutuskan tak ingin bersahabat lagi dengan kaum adam sejak kekecewaanku atas persahabatku dengan Sam. Namun kedatangan Anggi membuatku lupa akan hal itu. Kembali tanpa kusadari kedatangan Anggi mengubah hidupku seperti dulu lagi.

Di saat-saat semester terakhirku hal yang sama mendatangiku lagi, seorang mahasiswa S3 yang juga berasal dari Indonesia melamarku. Kami memang sudah lama saling mengenal tapi hubungan kami terasa biasa-biasa saja, tak ada hal istimewa yang akan menunjukkan jalan ini. Aku sendiri terkejut ketika tiba-tiba ia mendatangiku.

Lamarannya membuatku tak karuan lagi. Di antara kaum adam yang pernah melamarku, memang dialah yang paling unggul. Aku hampir saja menerimanya meski ada kebimbangan di hatiku. Aku ingin menceritakan hal ini pada Anggi, tapi entah kenapa aku benar-benar tak berani. Yang dapat kulakukan hanyalah menelepon mama. Namun mama menyerahkan semua keputusan padaku meski lebih berat mengiyakannya mengingat umurku yang sudah mengizinkan. Sayangnya komen mama tersebut membuatku masih tidak yakin. Doaku dalam salat malamku juga masih belum terkabulkan, hingga aku tak bisa menikmati liburanku sebelum diwisuda sepenuhnya.

Aku yakin Anggi tahu hal ini, namun tak mau membicarakannya sebelum aku memulai. Akhirnya kukumpulkan semua keberanianku demi mendapatkan nasehat dari saran dari sahabatku ini. Sayangnya ia tak merespon seperti yang kubayangkan.

Malam itu aku bangun seperti biasa, kulaksanakan beberapa salat sunat yang biasa kulakukan. Berdoa agar pemilik segala kasih sayang dan cinta menguatkan hatiku apakah aku harus menerima atau menolaknya. Dan bila aku harus menolak, dekatkanlah aku dengan seseorang yang telah ia tetapkan untukku.

Malam berikutnya aku bermimpi, seseorang mengimaniku salat. Aku sangat mengenalnya. Namun setelah terbangun, aku lupa siapa imamku itu. Dan anehnya lagi, bila kupikir ia adalah si ketua yang telah melamarku, aku tak lagi merasa bimbang, melainkan aku yakin untuk menolaknya.

Hari-hari berikutnya aku masih berpikir tentang imam salat dalam mimpiku.

Biasanya hal-hal seperti ini selalu kuceritakan pada Anggi, tapi kali ini aku tak terpikir untuk melakukannya. Dua hari sebelum diwisuda aku datang ke kampus mengunjungi Anggi untuk memberikan undangan wisudaku. Saat itu jam makan siang sudah datang, kami makan siang di kantin sambil mengobrol. Tiba-tiba saja Anggi mengubah arah pembicaraan kami. Sesuatu yang tak pernah kuduga. Sesuatu yang tak biasanya tersinggung dalam pembicaraan kami. Anggi menyatakan isi hatinya padaku dan juga menyatakan keinginannya menikahiku.

Suatu bayangan berkelebat di pikiranku. Aku teringat tentang imam dalam mimpiku beberapa hari yang lalu. Aku yakin itu Anggi. Subhanallah, Allah telah mempertemukan kami di sini, di bawah langit Australia. Meski umurku tebih tua tiga talun, itu tak jadi patokan, tapi itulah kuasa ilahi. la menjawab kegaduhanku melalui keyakinan besarku untuk kuliah di negeri kanguru ini bersamaan dengan mengantarkan jodohku ke sini.