Balerina
oleh Intan Batura Endo Mahata

Balerina

Intan Batura Endo Mahata
SMAN 10 Padang

Helen sedang mencuci piring di dapur ketika terdengar klakson. Ia meninggalkan cuciannya sebentar dan melongok ke jendela. Rupanya ada Pak Pos. Helen membukakan pintu.

“Ada paket, Dik. Tolong tanda tangan di sini.” Pak Pos memberikannya lembaran bukti berikut sebuah pena. Helen langsung menandatanganinya. Pak Pos memberikan sebuah kotak ungu.

“Darisiapa, Pak?”

“Wah, alamatnya tidak tertera. Katanya, sih, dirahasiakan. Tapi, alamat tujuannya benar,kan?” Pak Pos menunjukkan alamat yang dituju.Memang, itu memang alamat rumahnya. Dan disana, jelas-jelas ditulis namanya—HELEN.

Setelah Helen mengucapkan terima kasih, Pak Pos pun pergi.

Helen kembali mengunci pintu. Ia tidak segera melanjutkan pekerjaannya, tetapi duduk di ruang tengah dan memeriksa paket tadi. Di salah satu sisi paket ungu itu, ada tulisan tangan berwarna hitam. Penutup. Begitu bunyinya. Apa maksudnya dengan "penutup", Helen bertanya-tanya. Akhirnya, Helen memutuskan untuk membukanya.

Ada sebuah boneka balerina di sana. Ukurannya kira-kira sejengkal. Balerina itu berdiri dengan bertumpu pada ujung kakinya. Kedua tangannya direntangkan dan dagunya diangkat. Balerina itu tidak tampak sombong dengan dagu yang ditinggikan. Tetapi, malah terlihat semakin anggun. Helen memeriksa bagian kotak itu. Kalau-kalau masih ada sesuatu. Dan, ia menemukan sebuah amplop.

Isi amplop itu adalah sebuah surat yang diketik rapi.

Helenku yang teristimewa,

Hari ini, kasih putih kita telah disatukan oleh tujuh balerina. Aku harap, engkau mengerti arti kehadiran balerina ini. Tidakkah engkau sadari, bahwa mereka adalah salah satu sisi dirimu? Seseorang istimewa yang dengan kemampuannya, mampu membuat orang lain merasa senang dan terhibur. Mungkin tidak engkau sadari, hidup itu tidak selalu di atas. Lihatlah balerina merah yang baru mulai belajar. Ia berlatih terus hingga dapat melakukan gerakan indah. Balerina jingga belajar berdiri di atas ujung kakinya. Balerina kuning berputar, balerina merah melayang, dan seketika balerina kuning terjatuh. Namun, dengan kegagalan melayang dengan sempurna, ia tidak pernah berputus asa. Balerina nila bangkit dan belajar, berputar lagi, dan akhirnya balerina ungu menutupnya dengan sikap yang sempurna.

Semoga hadiah ulang tahunmu ini, dapat menghibur hari ulang tahun sepi. Jangan khawatir, para balerina telah menyiapkan pesta yang indah untukmu, Helen, jadilah seperti balerina, karena hidup kita pasti berputar.

Umurmu sekarang sudah dua puluh dua tahun. Aku yakin, engkau mengerti bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Jadi, berhentilah membandingkan dirimu dengan orang lain dan indilah yang istimewa! Helen bergetar hebat. Ini bukan yang pertama kalinya. Ia bahkan, sudah muak dengan misteri paket-paketan yang dikirim setiap hari ulang tahunjya. Paket berisi boneka balerina berwajah sama dalam pose yang berbeda.

Tiba-tiba ingatannya kembali ke tujuh tahun yang lalu. Saat ia beruia berulang tahun yang ke lima belas dan kali pertama misteri paket ini dimulai.

Ia dan Hilda, kembarannya, sore itu tengah duduk-duduk di beranda depan. Mereka kelelahan karena telah membantu ibu menyapu halaman dan menyiram bunga. Tiba-tiba, ada sepeda motor berhenti di depan rumah mereka. Ternyata, Pak Pos. Hilda tampak menandatangi sesuatu, lalu Pak Pos pergi, dan ia pun kembali duduk di sebelah Helen sambil membawa sebuah kotak berukuran sedang. Kotak itu terbungkus kertas merah polos. Hilda mengatakan kepadanya bahwa kotak itu adalah paket yang dikirim untuknya. Ketika Helen menanyakan dari siapa, Hilda menggeleng dan mengatakan bahwa alamatnya dirahasiakan. Di kertas bukti penerimaan yang ia tanda tangani tadi tidak tertera alamat pengirim. Hanya ada alamat yang dituju, yaitu alamat rumah mereka dan di sana tertera dengan jelas nama Helen.

Hilda mengusulkan untuk membuka paketnya. Ternyata isinya adalah sebuah boneka balerina. T8ngginya sejengkal dan bertubuh ramping. Rambutnya dari benang halus yang diikat rapi. Bagi Helen, boneka itu seperti seorang anak yang baru belajar berjalan. Mungkin maksudnya, menggambarkan seorang anak yang baru belajar balet.

Hilda dan Helen bergumam memuji boneka balerina yang cantik itu. Namun sayang, pengirimnya tidak jelas. Hanya ada sebuah kartu dengan tulisan Untuk Helen yang istimewa, selamat ulang tahun.

Kedua anak itu menduga-duga siapa yang mungkin mengirimnya. Mungkinkah, nenek? Sebab, nenek mereka pernah melakukan hal seperti ini dulu, saat Linda, sepupu mereka, berulang tahun. Nenek meletakkan kado ulang tahun di atas tempat tidurnya secara diam-diam. Ia sangat terkejut, sekaligus senang karena waktu itu tak seorang pun ingat ulang tahunnya, kecuali nenek. Namun, Helen menjadi ragu. Hari ini bukan saja hari ulang tahunnya. Tetapi, juga ulang tahun Hilda karena mereka kembar. Selama ini Nenek selalu berlaku adil pada mereka. Jadi, tidak mungkin Nenrk hanya memberi Helen.

Hilda berpendapat lain. Menurutnya, Nenek mungkin sengaja membeli satu boneka agar dapat dipakai bersama-sama. Batin Helen masih tak menerima. Kalau begitu, mengapa di paket itu hanya ada namanya. Biasanya, jika Nenek mengirim hadiah lewat paket, nama penerimanya adalah Hilda dan Helen. Dan lagi, Nenek biasanya mengirimkan sesuatu yang lebih bermanfaat. Misalnya, baju hangat rajutan sendiri atau buku-buku ensiklopedia dan bahkan, uang saku. Karena tidak yakin, ia memutuskan untuk menelepon nenek dan menanyakan perihal paket merah ini. Dan juga hendak berterima kasih, jika memang nenek yang mengirim paket untuknya.

Setelah beberapa menit berbicara di telepon, Helen justru tambanh bingung. Nenek mengaku tidak mengirim apa-apa untuk ulang tahun cucu kembar beliau tahun ini. Beliau bahkan, minta maaf karenanya.

Hilda dapat melupakan soal paket misterius itu dengan cepat. Menurutnya, paket itu memang dtujukan untuk Helen. Tak jadi soal, siapa yang mengirimnya, "toh, kamu tidak mengambil hak orang lain," katana pula.

Tentu saja hal ini amat mengganggu. Helen ingin sekali berterima kasih, tetapi tak tahu kepada siapa. Mungkinkah seorang pengagum rahasia? Seseorang yang menyukainya dari libuk hati yang paling dalam. Namun, malu mengungkapkannya. Seandainya, ia memang benar-benar ada. Atau, mungkin si pengirim misterius ini hanya ulah teman-teman dekatnya yang usil. Ia terus menduga-duga, tetapi selalu saja ada yang menyanggah. Dan dua minggu setelah itu, ia sama sekali lupa soal paket-paket itu. Ia kembali kepada rutinitasnya sehari-hari. Sekolah, les, menyelesaikan tugas-tugas rumah, dan menempel dengan Hilda.

Sebenarnya, ia tidak benar-benar menempel dengan Hilda. Mereka tidak kembar siam, seperti Laden dan Laleh Bijani. Ia benar-benar bersyukur untuk hal yang satu ini. Karena, ia pasti tidak akan tahan. Bukan berarti ia tidak senang memiliki seorang saudara kembar. Ia bahkan bangga terlahir sebagai anak kembar. Sebab, kelahiran bayi kembar adalah sesuatu yang jarang. Mereka dulu pernah menikmati saat-saat indahnya menjadi seorang kembaran.

Sewaktu kelas dua SMP, diadakan ujian praktik lari jarak pendek. Hilda sedari tadi terus menggigit kukunya. Hal ini biasa ia lakukan saat cemas. Melihat gelagat saudara kembarnya itu, Helen mendekatinya. Hilda berkata bahwa ia tidak bisa berlari. Dan nilainya pasti akan jelek sekali. Helen merasa perlu menolong. “Begini saja. Bukankah Bapak ini tidak bisa membedakan kita? Aku akan menggantikanmu berlari. Tetapi, kamu harus berjanji besok menolongku ujian matematika.” Hilda pun mengangguk setuju. Tak ada seorang pun yang tahu Helen menggantikan Hilda berlari. Tetapi, esok harinya, ada sebuah kecelakaan kecil yang terjadi saat ujian matematika.

Helen dan Hilda duduk bersebelahan. Dan soal yang diberikan guru berbeda untuk setiap kolom. Helen mengerjakan soal A dan Hilda mengerjakan soal B. Hilda mengerjakan soalnya dengan cepat agar dapat mengerjakan soal Helen.

Helen menukar kertasnya dengan kertas Hilda. Saat hendak mengembalikan kertas Helen, tiba-tiba tertangkap oleh ibu guru. Hilda ditegur dengan suara tinggi dan ia terbata-bata menjawab, “... anu, Bu. Saya...., saya memaksa ia menukarjawabannya dengan saya. Mungkin ada soal yang sama agar dapat saya contoh..”

Ibu guru tampak tidak percaya. Jantung Helen berdebar hebat. Bagaimana tidak, alasan Hilda itu jelas-jelas tidak masuk akal. Mana mungkin, Hilda, anak nomor satu di kelas mencontek kepada Helen yang nilai matematikanya paling tinggi hanya enam. Setelah didesak terus oleh ibu guru, Hilda pun menangis. Tetapi, ia tidak mengubah pengakuannya. Helen jadi tidak tahan melihat Hilda menangis dan ia mengaku bahwa ia dan Hilda bertukar peran saat pelajaran olahraga dengan imbalan Hilda membantunya saat ujian matematika. Sebenarnya, Helen tidak bersungguh-sungguh dengan imbalan itu. Ja hanya ingin menolong Hilda. Itu saja. Ia senang bisa membantu Hilda. Ada hal-hal yang tidak bisa dilakukannya. Ia tidak bisa matematika dan ia bukan Nomor satu di kelas, seperti Hilda. Selama ini Hilda selalu bisa melakukan apa saja, ternyata ada juga kekurangannya. Maka, ia merasa sangat senang dapat menggantikan Hilda berlari. Begitulah akhirnya, mereka berdua dihukum dan harus mengikuti ulangan susulan. Kemudian, ibu Heni, gurumatematika mereka mengusulkan kepada wali kelas agar memisahkan bangku Helen dan Hilda.

Mulai dari situ, cerita mirip-miripan ini tak lagi menyenangkan.

Hilda ditakdirkan lahir dengan perkembangan otak kiri dan kanan yang sempurna. Nilai-nilai akademiknya tidak pernah mengecewakan. Dan ia bisa bermain piano, bermain peran, menulis cerita, dan puisi. Ia pandai berdiplomasi. Saat ia bicara, bahasanya seperti tulisan dalam novel—tersusun dengan diksi yang sempurna. Dan semua keahliannya telah membuat guru menyenanginya. Guru bahasa Inggris mereka menyayanginya karena ia telah berkali-kali memenangi lomba Pidato bahasa Inggris, membawa nama sekolah. Guru bahasa Indonesia menyenanginya karena ia juga pernah memenangi lomba debat bahasa Indonesia, atas nama sekolah. Selain itu, ia juga seorang yang kreatif dan tidak pernah kekeringan ide. Artikelnya yang berjudul “Andai Aku Sepasang Sendal”, juga bernah dimuat di tabloid remaja. Semua itu telah membuat Orang tua mereka bangga.

Jika ia, Hilda, dan ibunya ke pasar dan bertemu dengan salah seorang teman ibunya, inilah yang membuat Helen tersiksa. Orang-orang akan berkata, “Oh, inikah Hilda yang artikelnya dimuat itu? Tidak menyangka masih remaja. Bahasanya sangat bagus, tidak seperti tulisan anak-anak seusianya.” Dan apa pun itu, semuanya hanya untuk Hilda. Helen merasa terlupakan. Serasa tubuhnya menciut menjadi sebesar semut. Dalam keadaan seperti itu, ingin rasanya ia melipat badannya, lalu masuk ke dalam keranjang belanja ibu.

Helen merasa ia hanyalah bayang-bayang Hilda,yang sering tidak dihiraukan. Kadang-kadang, ia Ingin berteriak kepada semua orang. “Hei, ini Helen yang jago lari! Aku bisa berlari lebih cepat daripada anak laki-laki dikelasku.”

Helen pernah mencoba menulis artikel, seperti Hilda, tetapi saat ia memamerkannya kepada Sang Ibu, ia tidak mendapatkan sambutan seperti yang diharapkan.” Kamu tidak meniru kata-kata orang lain, kan, Helen?” Dan itu telah membuatnya amat tersinggung.

Mengapa Hilda terlahir begitu sempurna? Padahal, mereka berasal dari sel telur dan sperma yang sama, tumbuh dan berkembang dalam rahim yang sama, dan mereka sudah berbagi apa saja sejak dalam kandungan. Apa karena ia lima belas menit lebih awal menghirup udara dunia? Pertanyaan seperti itu yang selalu terlintas di kepalanya.

Dan yang membuat Helen merasa semakin tersingkir adalah ketika mengetahui Roni, teman sebangkunya, menyukai Hilda. Helen seperti tercekik saat Roni sendiri yang menceritakan hal itu kepadanya. Hilda memang bukan anak perempuan tercantik di kelas, tetapi ia manis. Ia sangat manis dan juga segala bakatnya, ia tidak pernah sombong. Oh, semua itu telah membuat Roni menyukainya. Tetapi, mengapa harusHilda? Ada ratusan ribu anak perempuan di sekolah ini, setidaknya ada dua puluh anak perempuan di kelas ini, mengapa Hilda? Dan mengapa harus Roni yang menyukai saudara kembarnya? Mengapa harus Roni, teman sebangku yang secara diam-diam telah ditaksirnya sejak dulu?

Sejak saat itu, Helen terus-terusan mengeluh kepada Tuhan. Tidak adil rasanya. Hilda dilahirkan dengan segudang potensi, sedangkan ia tidak punya apa-apa. Tak ada yang tahu, Helen telah terluka karena semua ini. Tidak juga orang tuanya. Hanya saja,

Helen tidak seceria dulu lagi. Ia juga tidak banyak bicara dengan Hilda. Ia hanya percaya kepada Lina, teman dekatnya, tempat ia menumpahkan keluh kesahnya. “Helen, mengapa kamu begitu buta oleh kekagumanmu kepada Hilda? Tidakkah kamu sadar bahwa tidak ada yang sempurna. Coba kamu lihat, Hilda pasti juga memiliki kekurangan. Kamu ditakdirkan memiliki kelebihan dan kekurangan, Begitu juga, Hilda dan kita semua. Kalau masalah si Roni, lebih baik kamu lupakan saja. Nanti juga kamu akan menemukan yang lebih baik daripada dia, yang mungkin juga suka sama kamu. Percaya, deh.”

Sayang, Helen tidak pernah mendengarkan kata-kata Lina. Sampai sekarang, ia masih meng-klaim dirinya sebagai yang tersingkirkan.

***

Seiring dengan bertambahnya umur mereka, paket berisi boneka balerina itu terus dikirim. Setiap tahun, pada tanggal yang sama dan melalui pos dengan alamat pengirim yang dirahasiakan.

Helen kembali teringat akan kata-kata di surat tadi, balerina merah, jingga, kuning, hitam, dan biru. Ia berlari ke kamar dan mengeluarkan enam kotak berukuran sedang tempat ia menyimpan keenam boneka yang dikirim enam tahun lalu. Ia kemudian menyusunnya sesuai dengan urutan tahun pengiriman. Boneka pertama dikirim dengan kotak merah, kedua jingga, ketiga kuning, dan begitu seterusnya. Itu adalah warna-warna penyusun warna putih. Ia ingat pelajarannya di sekolah dasar. Ia pernah membuat cakram dan diberi ketujuh warna itu. Saat diputar dengan kencang, akan terlihat warna putih.

Benar saja, ini seperti sebuah cerita. Saat seseorang mulai belajar balet. Pertama ia akan melakukan gerakan dasar, lalu boneka ke dua mencoba untuk bertumpu pada ujung kaki. Ketiga, berputar, melayang. Dan, boneka keenam jatuh. Namun, boneka keenam dapat berputar lagi dan yang ketujuh menutupnya dengan sempurna.

Seumur hidupnya, ia belum pernah melihat pesta belerina yang seindah ini.

Helen hendak mengembalikan surat itu ke dalam amplopnya, ketika ia menemukan ada sebuah foto di dalam amplop itu. Foto sebuah taman dengan bangku-bangku batu dan kayu. Lalu ada pohon-pohon pelindung, permainan anak-anak, dan semacam jalan setapak yang dibuat dari batu untuk imelintasi taman. Bukankah ini taman kota? Ia ingat. Dulu, Ayah dan Ibu sering mengajak mereka bermain di taman itu. Di belakang foto itu tertulis, besok, balerina ke tujuh akan datang saat bayanganmu tak terlihat. Apa maksud kata-kata itu. Helen berpikir keras.

Setelah lama berpikir, tiba-tiba Helen merasa seluruh tubuhnya bergetar hebat. Napasnya memburu dan ia merasa tercekik. Ini adalah sebuah janji pertemuan di taman. Balerina ketujuh, maksudnya orang ini akan datang memakai baju ungu. Akan datang saat bayanganmu tak terlihat, pastilah maksudnya pukul dua belas siang. Bukankah saat pukul dua belas siang, matahari tepat di atas kepala sehingga bayang-bayang kita nyaris tak tampak.

Akhirnya, misteri pengirim balerina akan segera terungkap, bisik Helen.

Buru-buru Helen membereskan semua boneka balerina dan menyimpannya kembali di lemari. Setelah itu, ia menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Karena besok orang tuanya akan pulang dari Bandung, setelah menjenguk Hildayang sakit tipus. Saudara kembarnya kini sedang kuliah di Bandung karena terlalu sibuk dan mengkonsumsi makanan yang tidak sehat mengakibatkan ia terserang tipus.

Rumah tanpa ibu tidak pernah bersih. Helen nyaris tidak punya waktu karena ia harus kuliah setiap hari dan dilanjutkan dengan kursus bahasa Jepang. Ia praktis berada di luar rumah dari pukul 7.30 pagi hingga pukul enam sore. Selama seminggu ini ia hanya memasak nasi. Untuk lauknya, ia beli di warung nasi dekat rumah. Rumah juga tidak pernah disapu, begitu juga kain-kain kotor ditumpuk hingga menggunung. Jadi, hari ini Helen memutuskan untuk memborong semuanya.

Setelah memastikan semua pintu dan jendela terkunci, ia membawa sebuah botol air minum besar dan beberapa makanan kecil ke kamar. Helen merebahkan badan di atas kasur lalu menyalakan televisi. Ia menonton sambil ngemil hingga bosan. Matanya tetap terjaga walaupun hari sudah pukul dua pagi. Ia berdebar setiap mengingat pertemuan itu. Dan ini semakin membuatnya sulit tidur. Matanya baru dapat terpejam pada pukul lima pagi. Setelah salat subuh, ia memutuskan untuk tidur-tiduran sejenak. Tetapi, tanpa sadar, akhirnya ia benar-benar jatuh tertidur.

Helen terbangun pukul 11.45. Ia terpekik begitu menyadari bahwa lima belas menit lagi adalah waktu yang dijanjikan untuk bertemu. Ia tidak boleh terlambat karena ini adalah satu-satunya kesempatan untuk bertemu.


Helen tidak mandi, hanya cuci muka dan gosok gigi. Ia memilih baju lengan panjang berwarna putih dan celana panjang berwarna biru. Selanjutnya, ia menyemprotkan setengah botol parfumnya untuk menutupi bahwa ia tidak mandi. Jika tidak ada halangan, ia dapat sampai di taman kota dalam waktu seperempat jam. Dan sekarang, lima menit kurang dari pukul duabelas. Di luar sana, hujan mulai turun. Rasanya mustahil. Dengan hati berdebar Helen meninggalkan rumah dan langsung menumpang angkot yang akan membawanya ke taman kota.


Hujan semakin lebat. Awan berubah dari kelabu menjadi hitam pekat. Angin bertiup kencang. Jalan menjadi macet karena air mulai naik. Helen semakin gelisah, berkali-kali ia melirik jam di tangannya. Ia tak henti-hentinya berdoa dalam hati agar ia bisa mencapai tempat itu tepat waktu. Dua puluh menit yang panjang ia habiskan di dalam angkot dengan berdoa.


Helen memang sudah menduganya. Ia terlambat. Di taman itu, tidak ada siapa-siapa. Helen membiarkan tubuhnya basah oleh air hujan. Ia tidak peduli lagi. Ia amat menyesal. Padahal, pukul lima ia sudah bangun. Ingin rasanya Helen menangis. Tetapi, hal itu tidak akan mengembalikan waktu. Menangis tak akan mengubah apa-apa.


Saat Helen hendak membalikkan langkah, ia merasa Seolah jantungnya terhenti. Ia tidak dapat mempercayai matanya. Berkali-kali Helen menggosok matanya. Ia, bahkan, mencubit pipinya untuk memastikan bahwa ia tidak bermimpi.


Di sana, ia melihat balerina ke tujuh menatapnya lembut. Tiba-tiba, Helen merasa pipi dan matanya panas, air matanya merebak. Karena ternyata, balerina ke tujuh itu berasal dari sel telur dan sperma yang sama, tumbuh dan berkembang dalam rahim yang sama, dan mereka sudah berbagi apa saja sejak dalam kandungan.